1. Mamapar gigi
Tradisi Mamapar gigi ini bisa ditemui di seluruh pedesaan yang ada
di Sumenep, tepatnya di Desa Panagan, Kecamatan Gapura, sekitar 10 kilometer
arah Tenggara Kota Sumenep. Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan daur hidup
(lingkaran hidup) individu, khususnya bagi seorang perempuan yang ingin
melangsungkan pernikahan. “Mapar” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan
sebagai “melakukan suatu pekerjaan untuk merapikan dan meluruskan”. Jadi, mapar
gigi dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk merapikan dan meluruskan bentuk
susunan gigi dengan seperangkat alat khusus.
Waktu dan
Tempat Upacara

Upacara mapar gigi biasanya dilaksanakan ketika
seorang gadis akan melangsungkan Pernikahan. Tujuannya, agar bentuk gigi sang
gadis terlihat lebih rapi dan menarik. Selain itu, mapar gigi juga mengandung
makna membuang segala macam sangkal pada diri sang gadis sebelum memasuki
kehidupan yang baru.
Adapun tempat pelaksanaan upacaranya bergantung dari
tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh si gadis. ada beberapa tahapan Untuk
tahap mapar gigi, antara lain pembacaan kidungan atau mocopat, dan pencukuran
rambut halus di dahi dan tengkuk diadakan di rumah sang gadis. Sementara untuk
prosesi pembuangan rambut halus sebagai simbol pembuangan sangkal berlangsung
di perempatan jalan dalam sebuah kirab atau arak-arakan.
Seluruh tahapan upacara tersebut dipimpin oleh ahli
papar gigi. Dalam melaksanakan tugasnya Sang ahli mapar akan dibantu oleh ahli
mocopat beserta tukang tegesnya yang akan membacakan kidungan atau mocopat
ketika prosesi mapar gigi dilakukan. Sedangkan pihak lain yang juga terlibat
dalam penyelenggaraan upacara adalah:
- keluarga gadis yang akan dimapar giginya,
- calon suami si gadis beserta kerabatnya,
- beberapa orang gadis yang nantinya akan bertugas mengitari sang gadis saat dupa dibakar, dan
- para seniman soren, hadrah, dll yang nantinya akan mengiringi calon pengantin saat melakukan kirab.
Peralatan
Upacara
Peralatan dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan
dalam upacara mapar gigi dibagi menjadi tiga, yaitu yang dipersiapkan oleh
pihak calon mempelai perempuan, calon mempelai laki-laki dan oleh sang ahli
papar gigi. Peralatan dan perlengkapan yang dipersiapkan oleh pihak calon
mempelai laki-laki adalah bang-giban atau barang-barang bawaan berupa bermacam-macam
kue, alat-alat rias, dan lain sebagainya yang ditaruh dalam sebuah kotak besar
berukir (judang).
Peralatan dan perlengkapan yang disediakan oleh pihak
keluarga calon mempelai perempuan adalah: beraneka macam jajanan pasar yang
nantinya akan digunakan sebagai suguhan bagi para tamu dan rampatan (sesajen),
kelapa gading, telur ayam, air kumkuman seribu kembang, nasi kuning, dan dhamar
kambang (lampu minyak kelapa). Terakhir, peralatan yang disediakan oleh ahli
papar gigi berupa: batu asah, pisau yang menyerupai kikir, dan batu pengganjal.
Jalannya
Upacara
Apabila waktu pelaksanaan upacara mapar gigi telah
disepakati, maka pihak calon mempelai pria akan menuju ke rumah calon mempelai
wanita dalam sebuah arak-arakan sambil membawa judang, tenong, dan lain sebagainya.
Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah calon mempelai wanita tersebut,
biasanya mereka diiringi oleh lantunan kesenian tradisional dari para seniman Saronen atau Hadrah.
Di lain pihak, sambil menunggu kedatangan calon
mempelai pria, kerabat calon mempelai wanita mulai mempersiapkan segala
peralatan dan perlengkapan yang nantinya akan digunakan ketika prosesi adat
mapar gigi berlangsung. Selain itu, mereka juga mengundang ahli papar gigi
untuk memimpin upacara dan tiga orang lagi yang akan bertugas sebagai pembaca
tembang mocopat beserta tukang tegesnya.
Setelah rombongan calon mempelai pria datang prosesi
mapar gigi pun segera dimulai. Dengan menggunakan peralatan berupa batu asah,
pisau berbentuk kikir, dan batu pengganjal sang ahli mapar mulai meratakan gigi
sang gadis. Sisa-sisa gigi hasil mapar lalu dikumpulkan dalam sebuah kain untuk
dibuang di sebuah persimpangan jalan.
Selama proses perataan gigi tersebut berlangsung,
tukang mocopat mulai membacakan kidung-kidung dari sebuah kitab kuno berhuruf Jawa yang
berisikan hikayat Nabi Yusuf. Untuk lebih memperjelas makna yang terkandung
dalam kitab tersebut tukang mocopat dibantu oleh tukang teges yang akan
menerjemahkan kidung ke dalam bahasa Madura. Seiring dengan pembacaan kidungan,
dilakukan juga pembakaran dupa di dekat sang gadis sambil dikitari oleh
beberapa orang gadis lainnya.
Selesai mapar gigi, dilanjutkan dengan prosesi paras
yaitu pembersihan atau pencukuran rambut halus disekitar dahi dan tengkuk sang
gadis. Selanjutnya, potongan-potongan rambut halus itu dikumpulkan untuk dibawa
bersama sisa-sisa potongan gigi dalam sebuah arak-arakan menuju ke perempatan
jalan (tapak dadang) yang letaknya tidak jauh dari rumah sang gadis.
Arak-arakan membuang rambut halus ini tetap dipimpin ahli mapar gigi dan
diikuti oleh tukang mocopat, tukang teges, kerabat calon mempelai wanita,
kerabat calon mempelai pria, para tetangga terdekat, dan diiringi lantunan
musik dari para seniman soren atau hadrah.
Sesampainya di persimpangan jalan, ahli mapar gigi
mulai membaca doa-doa lalu membuang rambut halus dan sisa potongan gigi sebagai
simbol pembuangan segala macam sangkal pada diri sang gadis agar kehidupan baru
bersama suaminya nanti selamat hingga akhir hayat. Prosesi pembuangan rambut
dan sisa gigi ini merupakan akhir dari serentetan rangkaian dalam upacara mapar
gigi.[1]
Daftar
Pustaka
- Deskripsi Upacara Mapar Gigi yang disampaikan pada Festival Upacara Adat dan Busana Adat dalam Pekan Budaya dan Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Tahun 1994 di Kabupaten Jember.
- Suradi Hp, dkk. 1982. Upacara Tradisional Daerah Maluku. Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pranala Luar
2. Tan-Pangantanan Tradisi Anak Madura
Tradisi Tan Pangantanan
merupakan sebuah permainan yang dilakukan oleh anak-anak di kala senggang.
Permainan yang sangat menyenangkan ini dilakukan setelah panen tiba, setelah
anak-anak selesai membantu panen di sawah. Mereka biasanya berkumpul, dan
secara spontan membentuk kelompok yang terdiri dari kelompok utama (perempuan)
dan kelompok besan (laki-laki). Kedua kelompok tersebut kemudian berlomba untuk
menghias pengantin jagoannya di tempat yang berbeda.
Adapun hiasan yang
dipakai oleh sepasang pengantin anak-anak tersebut sangat sederhana, terdiri
dari kain panjang (samper palekat) yang dililitkan ke tubuh
masing-masing pengantin sebatas dada. Sedangkan tata rias memakai lulur yang
dibuat dari beras dan temmo (kunir & kunyit putih). Lulur tersebut
dibalurkan ke seluruh tubuh dan wajah pengantin, sehingga tampak bagian tubuh
yang diluluri berwarna kuning (koneng ngamennyor).
Sedangkan untuk
mempercantik penampilan, maka di atas kepala di pasang sebuah mahkota yang di
buat dari rangkaian daun nangka, dan roncean bunga melati. Aksesoris
pengantin agar tampil menarik adalah rumbaian dari roncean daun melati (to’oran
dhaun malate) yang digantungkan di leher, serta dilengkapi pula sumping
daun kamboja, gelang kaki dan beberapa pelengkap bawaan yang di bawa oleh
pengiring.
Setelah siap, kedua
belah pihak bersepakat mempertemukan kedua pengantin di tempat yang telah
ditentukan. Setelah kedua pengantin bertemu lengkap dengan para pengiringnya,
baru kedua belah pihak bersepakat untuk mengarak kedua mempelai. Sepasang
pengantin tersebut kemudian di arak keliling kampung, berkeliling dari kampung
satu ke kampung lainnya. Arak-arakan tersebut mampu menyedot perhatian
masyarakat yang dilewati, dan terkadang iringan pengantin semakin panjang
karena diikuti penonton lainnya, terutama anak-anak. Sambil berjalan para
pengiring melantumkan syair, Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.
Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
Dhe’ nong dhe’ ne’ nang
Nanganang nganang nong
dhe’
Nong dhe’ ne’ nang jaga
jaggur
La sayomla haeto lillah
Ya amrasol kalimas
topa’
Haena haedhang haena
dhangkong
Pangantanna din ba’aju
din tamenggung
Ayola’ yole nengkong
abli pole ngantol
Koddu’ pace pacenan,
langsep buko lon alon
Pangantan ka’imma
pangantan
Mantan loji pamaso’a ka
karaton
Bu’ saeng lema’, bu’
saeng lema’
Aeng tase’ bang kambangan
Dhu panarema, dhu
panarema
Balanjana saare korang
Bidaddari le’ bidaddar
kong
Nase’ obi le’ kowa
lurking
Ban-gibannna le’ nase’
jagung
Pangerengga le’ pate’
buttong
Ya, hadirin tore
so’onnagi
Paneka pangantan sopaja
kengeng salamet
Ya salam, ya salam
Kitab suci dah
lama-lamanya
Kini pengantin lah tiba
lah tiba
Kepada kawan-kawanku
semua
Mudah-mudahan berjumpa
lagi
Tan-taretan sadajana e
dalem somana
Di sana e ka’dinto
Karangduwek nyamaepon
Nyara taretan abadi
kacintaan abadi kanesseran
Olle tetep Islam ban
Iman
Jam yuju jam delapan,
ana’ serdadu mekol senapan (dar)
Yam berana’ etekla ayam
pengantin baru sudah berjalan
Tette ajam bindhara,
pangantan ka’ imma pangantan
Pangantanna din ba’aju
din tamongkong
Jas Turki pakaian
celana puti
Aan’ ayam berani mati,
jas turki sudah mati
La bu’na mela, ajam
pote
Cocco’ sengkang e soro
pajikaran
Uraian Peristiwa dalam
Bait-Bait, “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.”
Berdasarkan analisa
yang terkandung dalam syair, dan berdasarkan perkiraan sesepuh Sumenep,
H. Saleh Muhammady, bait-bait “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang”, bahwa syair ini
diciptakan sekitar tahun 1574 M, sebagaimana tertera dalam kalimat, kalimas
topa’”, yaitu dari kata sa’ (1), lema’ (5), to’ (7)
dan pa’ (4). Namun tidak menutup kemungkinan angka tersebut belum
menjamin kebenarannya, karena analisa lain, kata, “kalimas topa’”
memiliki makna lain pula.
Apabila ditelusuri,
maka dapatlah di tarik sebuah rentetan sejarah awal terbentuknya tradisi ini (tan-pangantanan)
dapat diuraikan dalam kalimat, “Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon”.
Kata koddu’, yang condong pada jaman pemerintahan Pangeran Keddu
(pangeran Wetan – 1574 M), yaitu pada jaman Ratu Tirtonegoro (tumenggung
Pacinan, anak tiri Ratu Tirtonegoro) sebagai di sebut dalam kata, “bukong”,
artinya kakak tua, yaitu perlambang burung yang menjelaskan bahwa Tumenggung
Pacinan adalah kakak Panembahan Sumolo (pendiri masjid Jamik dan keraton
Sumenep).
Rentetan Peristiwa
Sejarah pada Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
Pengungkapan sejarah pangeran Wetan yang menghancurkan
tentara Bali ketika menyerang Sumenep. Sebagaimana di sebut dalam kalimat, “mon
ta’ nondhe’ jaga jaggur”, artinya kalau tidak tunduk maka akan dijatuhkan
ke laut (jaggur, sinonim suara benda jatuh ke air). Tentara Bali
mengalami kekalahan, dan kemudian sisa-sisa tentara Bali tersebut menyingkir ke
daerah pinggiran. Daerah pemukiman yang ditempati oleh sisa-sisa tentara Bali
dan keturunannya tersebut dinamakan Pinggir Papas. Sampai saat ini tradisi Bali
(Hindu) masih dijadikan acara ritual, yang dikenal dengan ritual “Nyadar.”
Tentang pemerintahan
Pangeran Lor II dan Pangeran Wetan II, dan meramalkan masuknya kolonial
Belanda, sebagaimana disebut pada kalimat, “Haena haedhang haena dhangkong”,
maksudnya (sujud). Kalimat tersebut menjelaskan masuknya sekularisme di
Sumenep, yang tentunya isme yang di bawa oleh penjajah Belanda tersebut akan
berakibat terganggunya stabilitas pemerintahan, Tumenggung Sumenep.
Pengungkapan masa
pemerintahan Cakranegara I, “Pangantan loji pamaso’a ka karaton”,
(pengantin lojji dimasukkan ke keraton). Ini berkaitan dengan kisah, ketika
pangeran Cakranegara I dalam perjalanan ke Demak. Di tengah perjalanan,
tepatnya di daerah Sampang pangeran Cakranegara dirampok sehingga beliau tidak
bisa kembali ke Sumenep. Akibat peristiwa tersebut maka terungkaplah kalimat, “pangantan,
ka’ imma pangantan”, artinya pengantin kemana pengantin (pangeran) ?
Kalimat, “aeng tase’ bangkambangan” (air laut mengambang). Makna pada
kalimat tersebut terjadi pada masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa yang
berasal dari seberang. Pada masa itu rakyat tidak menyenangi pemimpin yang
bukan berasal dari istana Sumenep, akibat rasa ketidaksenangan tersebut maka
muncullah pemberontakan. Namun pemberontakan rakyat tersebut dapat ditaklukkan
oleh Raden Mas Anggadipa. Peristiwa tersebut memunculkan sebuah kalimat, “duh
panarema, duh panarema”, yang berarti terimalah semua itu dengan besar hati
dan lapang dada.
Pencerminan kisah yang
terjadi pada masa pemerintahan Jayeng Pati. Pada masa itu terjadi krisis ekonomi
dan mampu mengganggu stabilitas. Krisis yang terjadi tersebut disebabkan oleh
ulah Jayeng Pati sendiri karena Jayeng Pati merubah peraturan dan adat
istiadat. Di samping itu Jayeng Pati merupakan otak peristiwa perampokan
terhadap Cakranegara I. Pada masa pemerintahan Jayeng Pati, mengalami krisis
ekonomi dan menyebabkan kehidupan rakyat mengalami masa-masa pahit, dan itu
menyebabkan rakyat hanya mampu makan, “nase’ obi kowa lorkong”, artinya
makan ubi dan sayur lorkong (jenis tanaman makanan ular).
Pada masa inilah tumbuh
subur penyakit mental di kalangan istana, yaitu oportunis, KKN, dan ABS.
peristiwa ini dikiaskan pada kalimat, ”pangerengnga pate’ buttong”,
artinya pengiringnya adalah anjing tak berekor.
Kisah tentang masa
kepemimpinan Yudha Negara, ialah masa kembalinya dari keturunan Pangeran
Cakraningrat I setelah merebut kekuasaan dari Jayeng Pati dengan bekerja sama
dengan Pangeran Trunojoyo. Saat itulah rasa patriotisme mulai menjalar, masa
usaha menghancurkan kolonialisme Belanda, meski masih memakai sistem
pemerintahan feodalisme aristokrat. Namun mendapat pujian rakyat, sebagaimana
terdapat pada kalimat, “paneka pangantan sopaja kengeng Salamet, ya salam,
salam”, (ini pengantin (pangeran) supaya mendapat keselamatan, ya selamat,
selamat), yang pada masa itu masih bergolak perlawanan Trunojoyo.
Kisah tentang masa
pemerintahan Pulong Jiwo, “kini pengantin lah tiba”, yang dimaksud dalam
kalimat tersebut adalah kembalinya Pulong Jiwo dengan mengadakan
perbaikan-perbaikan di dalam sistem pemerintahan dan juga rasionalisme kultur
yang rusak akibat masa pemerintahan Jayeng Pati.
Penerus kebijakan
Pulong Jiwo, yaitu pangeran Romo. Ia dianggap orang yang mumpuni dengan
menerapkan sistem bapaisme yang merupakan perangkat dari sistem feodalisme aristokrat,
sehingga terjadi revolusi keraton. Untuk ini terungkap, “tan taretan sadjana
e dalem somana”, artinya saudara-saudara yang berada dalam soma (rumah
tangga), jadilah kepala rumah tangga yang baik dan bijak. Adat istiadat mulai
berkembang dengan harapan, “olle tetep Islam dan Iman”, agar tetap Islam
dan Iman.
Kisah masa pemerintahan
Wiromenggolo I, yaitu saat terjadi pemberontakan melawan Belanda, disebut, “ana’
serdadu mekol senapan,” (anak serdadu memikul memanggul senjata). Menyebut
Wiromenggolo I yang anti Belanda namun masih tertutup, termasuk yang anti
Belanda ialah Wiromenggolo II serta cucunya, Jaga Sastro yang tewas ketika
menyelamatkan pangeran Diponegoro pada saat pertempuran di Madura.
Kisah masa pangeran
Lolos, sebagaimana disebut, “pangantan ka’imma pangantan”, (penganten
(pangeran) dimana pangeran), pada waktu pangeran Lolos di serang Raden Buka’.
Pangeran Lolos disebut juga pangeran Jimat.
Masa pemerintahan Raden
Buka’ (Jimat), dijelaskan pada kalimat, “jas Turki pakaian celana puti”,
dimaksud jas Turki celana putih, yaitu pakaian jas bentuk terbuka sebagaimana
pakaian orang Turki, dengan kopiah merah berumbai-rumbai. Jas terbuka ini
menandakan jaman masa Raden Buka’.
Masa Ke’ Lesap, yang
tertera pada kalimat, “Yam beranak etekla ayam pengantin baru sudah berjalan”.
Maksudnya pemerintahan diganti oleh seseorang tapi bukan dari tutrunan pangeran
Wetan. Memerintah hanya sebentar karena selalu terjadi peperangan.
“La bu’na mela ajam poté”, artinya masa pemerintahan oleh seorang ibu, yaitu
Ratu Tirtonegoro. Roda pemerintahan berikutnya diserahkan kepada Bindara Saod
(1750-1762 M). namun timbul permasalahan sebagaimana dalam kalimat, “cocco’
sangkang e soro pajikaran”, artinya dipatuk burung gelatik disuruh tukang
pedati. Yaitu pemerintahan pedati yang bukan dari keturunan pangeran Wetan,
tapi dari orang kebanyakan (golongan masyarakat rendah).
Rentetan analisis di
atas hanya merupakan bagian-bagian tertentu dari masing-masing bait. Namun
demikian versi lain masih terjadi penafsiran lain yang bersifat dimensional.
Jadi makna ganda dan dimensionalis dogma yang terkandung merupakan rangkaian
makna yang tersirat. Maknanya juga bisa berarti dialektika sejarah, budaya,
filsafat, sufistik melalui Doktrin-doktrin yang memiliki kekuatan politik serta
kritik sosial pada jamannya.
Disisi lain, syair Dhe’
nong dhe’ ne’ nang mempunyai pengertian mengangkat ritualisme melalui jalur
pengantin anak-anak, sebagaimana harapan penciptanya (anonim) agar lebih mudah
dan leluasa dijiwai oleh masyarakatnya, yaitu ritual pengantin yang diangkat
menjadi tradisi (folklore).
Demikian pula irama
yang dihasilkan, bagaikan lantuman gaung penderitaan, ketidakpuasan, kecintaan,
keagungan, kebahagiaan seperti letupan-letupan detak gendang dan gong di
pendapa. Maka terciptalah rasa senasib sepenanggungan, sebagaimana dimaksud
pada kata, “dhe’-nondhe’”, yang berasal dari kata, “dhu’ nondhu’”,
yang artinya menunduk. Dalam pengertian nondhu’ para orang tua Mdura,
menyimpulkan kepada, “Bapa’, babu’, guru, rato”, maksudnya tunduk kepada
ayah, ibu, guru (ulama), dan ratu (pemimpin).
Kandungan Filsafat
Nilai filsafat yang
terkandung dalam syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang merupakan manifestasi
dari latar belakang sejarah yang terkondisi oleh berbagai permasalahan
kehidupan. Kebenaran yang tersirat merupakan makna dimensionalisme dogma.
Maknanya bisa berarti dialektika sejarah, budaya, filsafat, sufisme melalui
kerangka doktrina-doktrina yang mempunyai kekuatan politik dalam kritik-kritik
sosial pada jamannya.
Dari sudut budaya,
pengertian Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mengangkat ritualisme dari jalur
pengantin anak-anak, menuju obyek sasaran yang dikehendaki oleh pembuatnya. Hal
ini nampak jela terungkap pada tiap-tiap bait, bait pertama hingga bait tiga
belas, merupakan ritualisme dari awal pengantin sampai pada babak kelahiran
(bait 9) dan diteruskan sampai beberapa bula berikutnya.
Disebutkan pada awal
bait, secara filsafat dapat di teropong sebagai masa bulan madu, yang diiringi
dengan suasana gembira dan bahagia dalam irama gamelan, dhe’- nondhu’ (dhu’-nondhu’
artinya masa menunduk), yaitu rasa bahagia tetapi diliputi rasa malu, hati yang
tenang karena sudah berlabuh kebahagiaan. Tenang disini diungkap pada kalimat,
“ne’ nang jaga (gong) jaggur”. Jaggur berkonotasi dua
pengertian, yaitu jatuh dan atau buah pohon jati. Ini merupakan idealisme
pengantin yang tinggi, suatu nilai kerahasiaan wanita (keperawanan) yang selalu
didambakan pada awal malam pertama. Buah pohon jati (bulat kecil merah membara
terdapat noktah hitam) mempunyai maksud setitik, yang melambangkan titik mutfah
yang terjaga. Bahkan dalam pengertian haena haedeng haena dhangkong,
masa itu adalah masa penyesuaian watak dan karakter.
Menurut sunnnaturrasul
dikatakan, waktu mutfah dimasuki ruh yang terdapat pada bait ke-3, dan
selamatan pada bait ke-7. perjuangan hidup dan mati pada bait ke-8 dan ke-9,
yang mempunyai arti masa kelahiran. Sementara pengamat yang lain mengatakan,
kalimat pakaian jas Turki merupakan singkatan bahasa Madura, yang
ber-pengertian bahwa masa membersihkan diri pada masa persalinan. Sehingga
secara budaya, merupakan ritualisme adat yang secara universal semua orang
mengalami peristiwa tersebut.
Dalam pengertian sudut
filsafat, sangat jelas sekali bahwa dimaksudkan merupakan ajaran atau doktrina
ontologia, yang menjelaskan tentang hakekat asal, akhir dari tujuan hidup. Dan
apabila dikaitkan dengan ilmu kebatinan Jawa, hal ini merupakan hakekat Sangkaning
Dumadi. Yaitu, hakekat sebelum dan sesudah hidup. Pengertian masa Dhe’
nong dhe’ ne’ nang, yaitu pada masa Awang Wung, masa kekosongan
dalam awal azal.
Bait ke-3 memberikan
pengertian filsafat yang tinggi sampai bait ke-12. ini merupakan doktrin
filsafat tentang hidup. Tentang hakekat, tarekat, dan makrifat dalam syariat
hidup. Tentang awal tidak hidup menjadi ada hidup dan tidak ada hidup, dan
hidup yang dikekalkan dari semua makhluk. “Ada hidup”, yang dikemukakan dalam,
“jaga jaggur”, yaitu hakekat Jati sperma yang hidup, (“jaga berarti
bangun dari tidur, bhs. Madura). “Haetolillah” (Hidayatullah), berserah
diri kepada Allah. “Ayam beranak etek” (ayam beranak bebek), ini
menjelaskan filsafat periodeisme, bukan menjelaskan dan mendukung filsafat
Darwinisme, yang digelarkan pada teori evolusinya, dan juga bukan merupakan
revolusinya Kal Mark. Tetapi merupakan sebuah realitas di bumi Sumenep tentang
periodeisme metamorfosis. Tidak ada manusia dari kera menurut Dhe’ nong dhe’
ne’ nang, tetapi yang ada ialah logika, “Yam beranak, eteklah ayam”,
karena ayam mengeram telur etek (bebek). Demikian antara lain kandungan
filsafat yang tercakup dari bagian-bagian bait dan baris tertentu.
Ungkapan lain yang
terungkap, bahwa Dhe’ nong dhe’ ne’ nang tersimpan doktrin tasawuf yang
terkandung didalamnya. Yaitu, pada bait ke-1 sampai bait ke-4 yang menyangkut
ilmu psikis. Bait ke-5 sampai ke-8 menjelaskan tentang ilmu methaphisik. Dan
bait ke-13 memjelaskan tentang pendapat dari penulisnya, yaitu tentang hakekat,
“cocco’ sengkang esoro pajikaran”, yaitu tentang hakekat paruh burung
gelatik disuruh pedati. “Soro” dalam bahasa Madura mengandung makna
kunci (sorok). Jadi apabila dipadukan bisa berarti paruh burung Gelatik
pada kunci pedati. Sehingga dengan kata lain, ungkapan tersebut dapat berarti
paruh yang bersudut, berpusat pada titik poros kunci pedati, maka berarti bahwa
dorongan perputaran roda pedati. Dalam tasawuf yang dua belas itu, merupakan
dialektika dan romantika gerak roda pedati, dalam pengulangan hakekat ajaran
tasawuf.
Kajian tentang syair Dhe’
nong dhe’ ne’ nang memng memerlukan peralatan dan wacana yang memadai,
karena makna yang terkandung didalamnya mengandung isyarat-isyarat yang sangat
mendalam. Sebab tradisi semacam Tan Pangantanan ini memiliki akar budaya yang
sangat kuat sebagai landasan terbentuknya tatanan kehidupan masyarakatnya pada
jaman dulu hingga sekarang. Secara implisit makna kandungan dalam syair Dhe’
nong dhe’ ne’ nang masih sangat banyak dan perlu pendalaman. Namun untuk
mengungkap makna seluruhnya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, karena
didalamnya masih tersimpan dimensi lain yang berkaitan dan bersifat
transendental(Syaf Anton Wr & Lilik Rosida Irmawati)
<http://lontarmadura.com/tan-mantanan-tradisi-permainan-anak-madura-2/
<http://lontarmadura.com/tan-mantanan-tradisi-permainan-anak-madura-2/
Ojhung
OJHUNG adalah sebuah pertunjukan tradisional masyarakat
Madura,khususnya Sumenep. Tradisi ojhung ini selalu dilakukan setiap musim
kemarau panjang tiba. tujuannya tak lain untuk mendatangkan hujan. Peralatan
yang digunakan dalam permainan yang sekaligus berfungsi sebagai senjata adalah
tongkat rotan yang berfungsi sebagai alat pukul. Alat tersebut oleh masyarakat
setempat disebut lapalo atau kol-pokol . Selain itu, pemain menggunakan
pelindung kepala (bhungkus atau bhuko) dan pembalut lengan kiri (bulen atau
tangkes) . Permainan diatur oleh seorang wasit yang oleh masyarakat setempat
disebut bhubhuto. Dalam pelaksanaannya, pertunjukan tersebut diiringi oleh
orkes okol yang peralatan musiknya terdiri atas ghambang dan dhuk-dhuk.
Karapan sapi
Karapan
sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Pada
perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat
joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu
cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya
sekitar 100 meter dan lomba
pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota di Madura
menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun,
dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di eks Kota
Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.
Sejarah
Awal mula
kerapan sapi dilatar belakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan
pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan matapencahariannya
sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan
untuk bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang.
Suatu Ketika
seorang ulama Sumenep
bernama Syeh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur) yang memperkenalkan cara
bercocok tanam dengan menggunakan sepasang bambu yang dikenal dengan masyarakat
madura dengan sebutan "nanggala" atau "salaga" yang ditarik
dengan dua ekor sapi. Maksud awal diadakannya Karapan Sapi adalah untuk
memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak sawah. Orang Madura memelihara sapi dan
menggarapnyadisawah-sawah mereka sesegera mungkin. Gagasan ini kemudian
menimbulkan adanya tradisi karapan sapi. Karapan sapi segera menjadi kegiatan
rutin setiap tahunnya khususnya setelah menjelang musim panen habis. Karapan
Sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan
dengan diiringi musik saronen.
Pelaksanaan Kerapan Sapi
Pelaksanaan
Karapan Sapi dibagi dalam empat babak, yaitu : babak pertama, seluruh sapi
diadu kecepatannya dalam dua pasang untuk memisahkan kelompok menang dan
kelompok kalah. Pada babak ini semua sapi yang menang maupun yang kalah dapat
bertanding lagi sesuai dengan kelompoknya.
Babak kedua
atau babak pemilihan kembali, pasangan sapi pada kelompok menang akan
dipertandingkan kembali, demikian sama halnya dengan sapi-sapi di kelompok
kalah, dan pada babak ini semua pasangan dari kelompok menang dan kalah tidak boleh
bertanding kembali kecuali beberapa pasang sapi yang memempati kemenangan
urutan teratas di masing-masing kelompok.
Babak Ketiga
atau semifinal, pada babak ini masing sapi yang menang pada masing-masing
kelompok diadu kembali untuk menentukan tiga pasang sapi pemenang dan tiga sapi
dari kelompok kalah. Pada babak keempat atau babak final, diadakan untuk
menentukan juara I, II, dan III dari kelompok kalah.
Pranala luar
- Aneka Ragam Kesenian Sumenep, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep 2004
- Sejarah Karapan Sapi
Nyadar (upacara adat)
Nyadar (upacara adat)
adalah kekayaan tradisi masyarakat petani garam Desa Pinggir Papas. Nyadar
dilakukan di sekitar komplek makam leluhur, disebut juga asta, yang oleh
masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama Bujuk Gubang. Dalam setahun
dilakukan tiga kali berturut-turut dengan rentang waktu satu bulan berselang.
Pada Nyadar ketiga biasa mereka sebut dengan Nyadar Bengko. Lokasi Upaca adat
tersebut berada di Dusun Kolla, Desa
Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi. Dari kota Sumenep sendiri untuk menuju lokasi masih harus menempuh jarak sekitar 13
kilometer lagi ke arah Selatan.
Waktu
Penentuan waktu pelaksanaan Nyadar berdasar
musyawarah para pemuka adat, yang masih merupakan keturunan dari leluhur
Anggasuta. Ada beberapa syarat sehubungan dengan pelaksanaan Nyadar. Syarat
tersebut terdapat kaitan dengan peringatan Maulid Nabi. Yang pertama,
pelaksanaan upacara tidak diperkenankan diadakan sebelum tanggal 12 Maulid. Kedua, selamatan yang tidak boleh melebihi
besarnya selamatan yang diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Dan syarat yang lain adalah para peserta upacara Nyadar terlebih dahulu
diwajibkan untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Dari syarat tersebut selain mengindikasikan bahwa
Nyadar tumbuh dan berkembang setelah Islam masuk. Selain
itu juga mengimplikasikan bahwa penghormatan terhadap leluhur mereka tidak
boleh melebihi penghormatan terhadap Rasulullah.
Tempat pelaksanaan
Nyadar pertama dan kedua dilakukan
di sekitar asta Syeh Anggasuto, Syeh Kabasa, Syeh Dukun, dan Syeh Bangsa yang
ada di Desa Kebundadap Barat, pada Nyadar ketiga dilakukan di desa Pinggir
Papas. Konon hal ini juga berangkat dari nadar Syeh Dukun, yang juga ingin
melakukan syukur tetapi hanya di lingkungan rumahnya (dalam Bahasa Madura
disebut bengko) atau diantara keluarganya sendiri. Namun demikian ada yang khas
dari pelekasanaan Nyadar ketiga ini.
Di Nyadar ketiga ini, pada malam
harinya biasanya diikuti dengan kesenian mocopat atau membaca layang. Dimana
tulisannya masih menggunakan tulisan Jawa kuno dengan media daun lontar. Jalannya
cerita dalam mocopat tersebut, yang pertama adalah Jatiswara. Cerita Jatiswara
ini mengisahkan jalannya nyawa dan raga dari perjalanan hidup manusia. Kemudian
yang kedua ceritanya Sampurnaning Sembah. Yang kedua ini lebih mengisahkan
jalannya bakti manusia kepada sang Pencipta, atau hal Syari’at.
Sejarah awal mula Nyadar
Pangeran Anggasuto adalah salah satu
tokoh masyarakat yang menyelamatkan orang-orang Bali yang terdesak ketika kalah
perang melawan Pasukan Karaton Sumenep. Dikisahkan, pada suatu malam melakukan Istigharah.
Memohon kepada Tuhan yang maha Esa, jika dia memang ditakdirkan hidup di daerah
tersebut. Apa yang bisa dijadikannya sebagai sumber hidup atau mata pencaharian
baginya. Sebab di daerah tersebut adalah daerah pesisir pantai. Yang bisa
dibayangkan bagaimana kondisinya. Konon, Tuhan mengabulkan dan memberinya
petunjuk. Pangeran Anggasuto semacam diminta untuk berjalan menuju pesisir
pantai. Pada suatu waktu, Pangeran Anggasuto berjalan ke arah pantai. Karena
tanah di pantai itu begitu lembek, hingga membentuk tapak kakinya. Selang waktu
berjalan, bekas tapak kaki tersebut terisi oleh air laut.
Beberapa hari kemudian, Anggasuto
kembali berjalan ke arah pantai. Dia memperhatikan sesuatu di bekas tapak
kakinya itu. Dijumpainya bekas tapak kaki itu dipenuhi oleh benda yang berwarna
putih. Anggasuto sempat bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan benda putih
tersebut? Adakah benda putih itu adalah madduna sagara (Madunya Samudra, red)?
Akhir kata, benda itu kemudian oleh
Pangeran Anggasuto disebut dengan Buja, yang merupakan istilah bahasa Madura untuk garam. Maka, hingga sekarang benda itu dikenal
dengan nama buja atau garam. Kabarnya kisah itu sudah tersiar ke segala penjuru
daerah.
Seiring perputaran jaman, temuannya itu ternyata
memberi manfaat bagi seluruh manusia di penjuru Nusantara. Dimana pola mata
pencaharian sebagai petani garam kemudian juga dilakukan oleh beberapa
masyarakat di daerah lain seperti di Bali dan Sumatera. Dan waktu terus
berjalan, orang-orang di daerah Pinggirpapas masa itu, dengan bimbingan Anggasuto
terus mempelajari bagaimana memetak tanah untuk ladang garam. Selain itu juga
cara memindah-mindah air laut.
Dari air kesatu hingga air kedua
puluh lima yang baru menjadi garam. Yang dimaksud disini adalah kadar air.
Kemudian daerah tersebut disebut dengan padaran atau sekarang dikenal dengan
talangan. Maka jadilah daerah tersebut dengan hamparan ladang garam, dan
mayoritas masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani garam.
Konon setelah garam-garam itu
menunjukkan hasil, Anggasuto sebagai manusia yang senantiasa tidak lupa pada
sang pemberi rejeki. Suatu ketika dia pun bernadar, setiap jatuh pada bulan dan
tanggal panas matahari (masuk musim kemarau) akan melakukan Nyadar, semacam
bakti syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan. Maka jadilah dilakukan upacara
Nyadar pertama.
Dalam perjalanan waktu adik dari
Anggasuto, Kabasa, juga melakukan nadar yang sama. Maka jadilah upacara Nyadar
yang kedua. Yang waktunya satu bulan berselang setelah Nyadar pertama
dilakukan. Demikian halnya pada pelaksanaan Nyadar ketiga, yang merupakan nadar
dari Dukun. Berdasar referensi dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Sumenep menyebutkan Syeh Dukun ini adalah pembantu Anggasuto yang berasal dari Banten. [1]
Referensi
Bibliografi
- Aneka Ragam Kesenian Sumenep, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep 2004
- Panduan Wisata Kabupaten Sumenep 2011, Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kab. Sumenep
Ngekak Sangger
Upacara
Adat Ngekak Sangger adalah salah
satu adat budaya dari desa "Leggung" Sumenep Sampai saat ini
upacara adat ini masih dilestarikan oleh masyarakat desa Legung kecamatan
Batang-Batang setiap ada hajatan pernikahan
Tahap mencari jodoh
Proses pernikahan ini dimulai dengan tahapan
mencari jodoh yang dibagi kedalam dua bagian, antara lain :
Ngen-angen khabar ( informasi )
Dimana orang tua akan berusaha mencari calon isteri untuk anaknya
yang sudah dewasa (baligh) dan berkeinginan mencari pasangan hidup dengan
meminta batuan kepada seseorang yang disebut sebagai "pangadek"
Arabas Pagar
Setelah melalui tahapan Ngen angen khabar, selanjutnya adalah
proses Arabas pagar, maksudnya seorang pangadek mencari keterangan calon
penganten apakah sang calon yang dituju sudah memiliki pasangan atau masih
tidak, informasi ini diperoleh dari tetangga atau kerabat dekat dari calon yang
dituju. Setelah melalui proses yang panjang dan si calon sudah cocok dengan
pasangannya, maka tahap selanjutnya adalah Abakalan atau tunangan.
Nyabak Jajan atau Lamaran
Calon
mempelai laki-laki mengirimkan seperangkat alat-alat keperluan mempelai wanita
yang dibawa oleh rombongan kerabat keluarga pihak laki-laki secara beriringan
seperti kain, sperangkat perhiasan, bedak, serta macam-macam jajan pasar.
Tahapan tersebut dikenal oleh masyarakat dengan bhan-gibhan.
Setelah
menerima pemberian ini maka pihak wanita akan membalas pemberian calon mempelai
laki-laki dengan berbagai macam masakan kuliner yang juga dibawa oleh keluarga
kerabat mempelai wanita. Prosesi ini disebut dengan istilah balessan
atau tongebbhan.
Setelah
melalui kedua proses diatas maka sejak saat itulah sang gadis yang masih
perawan sudah menjadi tunangan dari sang laki-laki.
Menjelang
hari-hari pernikahan, kedua pihak mempelai mulai mengadakan persiapan-persiapan
diantaranya Mamapar gigi oleh calon wanita setelah itu mulai tahapan
pingitan, dimana sang calon pengantin wanita tidak boleh keluar rumah agar
tidak terkena sarapat (kerasukan roh halus).
Selanjutnya
setelah melalui proses tahapan diatas, maka tiba saatnya upacara yang sangat
sakral "Ijab Kabul"
dilaksanakan, prosesi tersebut biasanya dilaksanakan di rumah mempelai wanita.
Sehari
menjelang dilaksanakannya upacara pernikahan adat di kediaman mempelai wanita,
ada tradisi yang dilakukan oleh sesepuh wanita yang dituakan berpakaian serba
tertutup, yang selanjutnya membawa kendi berisi air beserta dhamar kambhang
(lampu minyak) untuk di percikkan disekitar jalan yang akan dilalui oleh para
tamu, setelah selesai maka sesepuh tadi kembali ke rumah pengantin wanita dan
meletakkan dhamar kambhang di kamar si penganten.
Pelaksanaan Upacara Penganten Adat "ngekak sangger"
Pagi
hari rombongan pengantin pria yang akan menuju rumah mempelai wanita akan
diiringi musik saronen atau
musik Hadrah. Dibelakannya beriringan pula para remaja serta sesepuh kerabat
keluarga mempelai laki-laki membawa bermacam-macam bingkisan*. Dalam
iring-iringan ini Pengantin Pria dengan gagahnya menaiki Jaran Serek
(kuda hias) mengenakan busana penganten yang belum lengkap.
Setelah
tiba di pintu depan rumah mempelai wanita, rombongan mempelai pria akan
disambut oleh seorang laki-laki dari keluarga mempelai wanita untuk
menyelesaikan Pangadek, dalam proses tersebut terjadi dialog dengan
kata-kata kiasan atau parsemon . jika pangadek sudah mendapat ijin dari
pihak wakil keluarga mempelai wanita tadi, maka pengantin pria dipersilahkan
masuk serambi rumah.
Di
serambi depan rumah akan terdapat satu buah Sangger yang untaiannya
lepas satu persatu. Dalam upacara adat ini penganten pria dituntut harus
mengikat atau merangkai kembali untaian Sangger seperti semula,
disinilah puncak proses dari upacara adat penganten tersebut dilaksanakan.
Setelah acara tersebut, penganten pria akan bebenah dengan memakai hiasan
penganten lengkap untuk bersiapa-siap menjemput penganten wanita pada acara penganten
ngarak dengan berkeliling kampung di desanya sebagai tanda memberitahukan
kepada masyarakat bahwa mereka resmi menempuh hidup baru dalam rumah tangga.
Makna "Penganten Ngekak Sangger"
Menurut
penuturan para sesepuh di Desa Leggung Kecamatan Batang-Batang ini melambangkan :
- Bahwa Pernikahan bagi orang-orang di pedesaan Sumenep bukanlah pertautan kedua mempelai, melainkan masuknya penganten pria kedalam keluarga besar sang isteri, seperti halnya sangger yang terdiri dari bilah-bilah bambu yang rapi tersusun dalam satu ikatan dan tahan dalam menghadapi tantangan hidup
- Mendidik penganten pria agar selalu arif, tertip, dan memegang sopan santun seperti halnya rangkaian Sangger.
Daftar Pustaka
- Aneka Ragam Kesenian Sumenep, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep 2004
0 komentar:
TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG, SILAHKAN POS KAN KOMENTAR ANDA