Tari Moang Sangkal
Tari Moang Sangkal merupakan salah
satu icon seni tari di Madura, secara harfiah kata moang sangkal terdiri dari dua kata berbahasa Madura
yang mempunyai makna kata sebagai berikut :
Kata Mowang berarti membuang, dan
kata Sangkal berarti sukerta yang artinya gelap (sesuatu yang menjadi santapan
sebangsa setan, dedemit, jin rayangan, iblis, menurut ajaran Hindu). Sedangkan
kata "sangkal" sendiri mengadopsi dari bahasa Jawi Kuno yang
maksudnya Sengkala (sengkolo). Jadi sangkal yang dimaksudkan pada umumnya oleh
masyarakat Songennep adalah : bila ada orang tua mempunyai anak gadis lalu
dilamar oleh laki-laki, tidak boleh ditolak karena membuat si gadis tersebut
akan “sangkal” (tidak laku selamanya).
Pada awalnya tari Mowang Sangkal
gerakannya agak keras, diiringi dengan gamelan dengan gending ”sampak” lalu
mengalir pada gending ”oramba’-orambe’ ” yang mengisyaratkan para putri keraton
menuju ke ”taman sare”. Dan kemudian gerakannya tambah halus, gerakan yang
halus, mengisyaratkan para putri sedang berjalan di Mandiyoso (koridor keraton
dalem menuju Pendopo Agung Keraton Sumenep).
Pada umumnya jumlah penari berjumlah
ganjil, dan kostum yang digunakannyapun adalah kostum pengantin legha khas
Sumenep dengan warna yang khas pula, yaitu warna merah dan kuning, perpaduan
warna tersebut mengandung filosofi ”kapodhang nyocco’ sare” yang
maksudnya ”Rato prapa’na bunga” (raja sedang bahagia). sedangkan untuk
paduan warna kostum merah dan hijau atau kuning dan hijau mengandung folosofi ”kapodang
nyocco’ daun” yang maksudnya ”Rato prapa’na bendhu” (Raja sedang
marah).
Tari moang sangkal sendiri,
diciptakan pada tahun 1972 oleh salah seorang seniman Sumenep, Taufikurrachman
yang salah satunya dilatarbelakangi oleh kepedulian para seniman dalam
menerjemahkan alam madura yang sarat akan karya dan keunikan. disamping juga
mengangkat sejarah kehidupan karaton Sumenep tempo dulu.
Rujukan dan Pranala Luar
- Hélène Bouvier. 2002. Lèbur: seni musik dan pertunjukan dalam masyarakat Madura. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9794614203, 9789794614204
- Facebook Page : SONGENNEP TEMPO DOELOE
- Facebook Group : Forum Peduli Bahasa dan Budaya Madura
Tari Gambu
Pada awalnya tari Gambu lebih
dikenal dengan Tari keris, dalam catatan Serat Pararaton tari Gambu disebut
dengan Tari Silat Sudukan Dhuwung, yang diciptakan oleh Arya Wiraraja dan diajarkan pada para pengikut Raden Wijaya kala mengungsi di keraton Sumenep. Tarian tersebut
pernah ditampilkan di keraton Daha oleh para pengikut Raden Wijaya pada
perayaan Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam suatu acara
pasasraman di Manguntur Keraton Daha yang selalu dilaksanakan setiap akhir
tahun pada Wuku Galungan. Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu
dengan para Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet, dan kemenangan berada
pada pengikut Raden Wijaya.
Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa
kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang
Panembahan Agung Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah
(Sultan Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan
budaya. Maka kala itu Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Kanjeng Pangeran Ario Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali
sekitar tahun 1630, diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan sampai detik ini terus
diberi nama Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi tari Gambu (dalam
logat Sumenep).
Rujukan dan Pranala Luar
- Hélène Bouvier. 2002. Lèbur: seni musik dan pertunjukan dalam masyarakat Madura. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9794614203, 9789794614204
- Facebook Page : SONGENNEP TEMPO DOELOE
- Facebook Group : Forum Peduli Bahasa dan Budaya Madura
TARI GELENG ROÒM karya Dimas Pramuka AdmAji
Tari Geleng ro’om
karya Dimas Pramuka Admaji
Latar belakang
Banyak segi dalam kehidupan manusia
yang memantulkan unsur-unsur kebudayaan, dari ide serta perilaku manusia yang
sangat sederhana hingga yang kompleks. Tidak terlalu berlebihan kiranya
dikatakan, bahwa kebudayaan meresapi perilaku warga masyarakat yang menjadi
pendukungnya. Dalam hubungan ini, kebudayaan dapat dianggap sebagai perekat
kehidupan bersama, bukan karena persamaan kepentingan sesaat belaka, melainkan
karena persamaan nilai-nilai sebagai acuan perilaku dalam kehidupan bersama
itu.
Kebudayaan Kota Surabaya adalah
penjelmaan kebersamaan warga Surabaya yang menghuni wilayah Kota Surabaya.
Namun tidak bisa diingkari, bahwa kenyataannya pluralisme budaya mewarnai
kebersamaan warga Surabaya. Keragaman merupakan kenyataan hidup yang tidak
mungkin diabaikan, bahkan perlu dihormati sebagai ramuan dasar untuk membangun
kemanunggalan sikap dan perilaku warga Surabaya pada umumnya. Inilah yang
menjadi jati diri (identitas) Kota Surabaya sebagaimana dikukuhkan oleh
kebudayaan yang khas. Dengan kata lain, kebudayaan Kota Surabaya, tanpa menepis
makna keragaman budaya yang hidup dikota Surabaya.
Kebhinekaan budaya yang dimiliki
Kota Surabaya, salah satunya adalah keberadaan warga kota yang berasal dari
suku Madura. Orang-orang Madura di Surabaya memiliki peranan penting dalam
sejarah kota ini. Sebut saja dalam Prasasti Kedadu, Raden Wijaya, raja
Majapahit menyebutkan pasukan Madura yang bersenjatakan arek ( Clurit yaitu
senjata khas Madura ) di ujung Galuh dengan Sura yang berarti berani menghadapi
dan Baya adalah bahaya atau rintangan pasukan Tar-tar dari Tiongkok yang
bersenjatakan lebih canggih.
Peristiwa tersebut menjadi momentum
bagi lahirnya kota Surabaya yang sekarang menuju metropolitan ini dan telah
menjadikan ikon peristiwa itu, sebagai modal sosial yang membanggakan kota ini.
sebagai upaya melestarikan dan mengembangkan keberadaan budaya Madura di
Surabaya, pada kesempatan ini Gito Maron art performa yang selama ini konsen
dibidang pengembangan budaya Surabaya merasa bangga dan tersanjung mewakili
Kota Surabaya dan Jawa Timur dengan
sebuah karya berjudul Geleng Ro’om yang telah menyandang predikat Juara umum
pada Festival Parade Tari Nusantara 2006 Tk Nasional .
antara lain :
Penyaji Terbaik
Koreografer Terbaik
Penata Busana&Rias terbaik
5 unggulan Musik Terbaik
Sebuah tarian yang mengangkat budaya
Madura, dimana gadis yang beranjak remaja diwajibkan memakai gelang kaki atau
biasa disebut Binggel atau Geleng. Simbol ini bukan semata-mata aksesoris
semata tentang tingkat sosial keluarga gadis itu, namun sebuah visualisasi
keterikatan dan kepatuhan terhadap norma, adat Madura.
Konsep garap
Geleng Ro’om disusun dengan
pendekatan visualisasi gerak tari khas Madura yang bersumber pada kehidupan kesehariannya,
seperti giat kerja kerasnya, kedinamisannya bertingkah dalam kehidupan seperti
sebagai petani, penjual sayur bahkan nelayan. Terlebih-lebih posisi perempuan
dalam upacara-upacara tradisi masyarakat Madura, dimana perempuan sebagai
penopang kehidupan keluarganya. Sedangkan penyusunan musiknya lebih didekatkan
dengan suasana musik khas Budaya Madura yang sangat didominasi perkusi, seperti
musik dug-dug, kenong telok yang sering mengiringi acara kerapan sapi dan
terlebih lagi telah muncul musik kolaborasi Semut Ireng Pamekasan yang mencoba
mendekati banyak unsur perkusi asal Madura, agar keserasian ragam gerak yang
dieksplorasi dapat sejalan dengan hadirnya musik khas tersebut.
Geleng Ro’om ditampilkan dengan
aroma pulau Madura. Sehingga mulai ragam gerak yang dipilih dan disusun, Musik
maupun tata busananya lebih didekatkan dengan kebiasaan perempuan Madura yang
berdandan cantik ala tradisi. Artinya kebiasaan mereka yang terbuka, dengan
rias yang khas memberikan pesona tersendiri bagi hadirnya seorang remaja Madura
ini berekspresi di atas panggung.
Sinopsis
Geleng Ro’om adalah sebuah judul
karya tari baru yang berlatar belakang budaya masyarakat Madura dan
menceritakan tentang tingkah laku gadis usia belia yang beranjak dewasa, dengan
segala kecantikannya, kedinamisannya, unik, molek dengan berpenampilan modis
etnis gelang-gelang, bersolek ala cupang merah dileher dan didahi selalu
menghias dirinya sebagai wujud kegairahan hidup dan bekerja keras seorang
perempuan Madura, dimana perempuan sebagai penopang kehidupan.
Bentuk Penyajian
Geleng Ro’om merupakan tari baru
yang dalam penyajiannya disajikan secara kelompok (lebih dari dua penari)
dengan pendekatan visualisasi gerak tari khas Madura yang bersumber pada
kehidupan kesehariannya, kerja keras, dinamis, cantik dan unik. dimana
perempuan sebagai penopang kehidupan keluarganya. Sedangkan penyusunan musiknya
lebih didekatkan dengan suasana musik khas Budaya Madura yang sangat didominasi
perkusi, seperti musik dug-dug, kenong telok yang sering mengiringi acara
kerapan sapi dan terlebih lagi telah muncul musik kolaborasi Semut Ireng
Pamekasan yang mencoba mendekati banyak unsur perkusi asal Madura, agar
keserasian ragam gerak yang dieksplorasi dapat sejalan dengan hadirnya musik
khas tersebut.
a. Tata Busana
Tata busana pada tari Geleng Ro’om
lebih didekatkan dengan kebiasaan perempuan Madura yang berdandan cantik ala
tradisi. Artinya kebiasaan mereka yang terbuka, dengan rias dengan cubitan atau
garis-garis ala cupang merah di dahi dan leher yang khas memberikan pesona
tersendiri bagi hadirnya seorang remaja Madura ini berekspresi di atas
panggung. Bentuk dan pola riasan seperti itu adalah sebagai wujud kegairahan
hidup dan bekerja keras seorang perempuan Madura, dimana perempuan sebagai
penopang kehidupan.
Desain dan tata busana tari geleng
ro’om terdiri dari:
- Kebaya : Terbuat dari bahan kain borklat bunga-bunga
merah dengan potongan kebaya ber kutu baru atau potongan kain segi empat bagian
dada sebagai penutup antara tepi kebaya bagian kanan dan kiri.
- Entrok atau Kutang : Merupakan busana dalam kebaya
yang senada dengan warna kebaya. Kalaupun warna entrok dibikin kontras dengan
kebaya itupun tidak menjadi masalah karena kebiasaan kesukaan perempuan Madura
adalah warna mencolok dan kontras
- Kain panjang ( Bawahan) : Berbentuk kain sarung
dengan motif kain batik bunga merah dengan potongan/ desain ¾ atau panjang di
tengah-tengah betis di bawah lutut dengan wiron bagian tengah, diharapkan agar
gerak yang bervolume besar pada bagian kaki terkesan leluasa dan tidak
terganggu.
- Kain Sarung : Sarung di pakai pada bagian luar kain
panjang, berwarna hitam dengan garis pinggir merah pada tepi atas dan bawah.
- Celana : Motif garis-garis merah putih.
Karena gerak tari Geleng Ro’om yang berpola volume
besar pada gerak kaki, dan pada angkatan-angkatan kaki yang berpola menunjukan
gelang pada kaki, sengaja memakai/mengenakan celana ¾ lebih panjang 2cm dari
kain batik yang dikenakan.
- Gelung angka 8 : Merupakan tata rambut yang tidak
ada kesan tata rambut ber sasak atau contok. Sisiran plontos menunurut garis
kepala dan disisir kebelakang dengan sanggul angka 8 dibelakang dengan hiasan
sanggul dililit pita merah.
- Rinjing/kranjang : Merupakan asesoris, properties
dan busana bagian atas kepala dengan hiasan kain merah dan hitam pada tepi
rinjing.
- Perhiasan :
Giwang
Bunga merah dan putih pada sanggul
Bunga merah dan putih pada sanggul
Binggel pada dua kaki
Gelang kroncong pada tangan kanan dan kiri.
b. Tata Rias.
Tata rias pada tari Geleng Ro’om
merupakan gaya Kebiasaan mereka yang terbuka, dengan rias dengan cubitan atau
garis-garis ala cupang merah di dahi dan leher yang khas memberikan pesona
tersendiri bagi hadirnya seorang remaja Madura ini berekspresi di atas
panggung.
Rias muka mengunakan rias cantik dan
kaki mengenakan garis-garis merah yang biasa disebut pacar dikenakan melingkar
pada bagian tumit.
Warna riasan pada mata mengunakan eye shadow warna
hitam dan merah dengan eye liner sebagai aksen tegas pada garis mata dengan
memakai bulu mata palsu sebagai pemanis dan sebagai alat bantu ekspresi mata
yang sangat dominan dan mempertegas mimik wajah pada tari Geleng Ro’om ini.
c. Gerak tari
Geleng Ro’om disusun dengan
pendekatan visualisasi gerak tari khas Madura yang bersumber pada kehidupan
kesehariannya, seperti giat kerja kerasnya, kedinamisannya bertingkah dalam
kehidupan seperti sebagai petani, penjual sayur bahkan nelayan. Terlebih-lebih
posisi perempuan dalam upacara-upacara tradisi masyarakat Madura, dimana
perempuan sebagai penopang kehidupan keluarganya.
Dengan mencari kemungkinan-kemungkinan
pola gerak baru maka dalam proses garap selalu menggunakan metode eksplorasi
gerak serta improvisasi
dilakukan untuk memperoleh gerak-gerak baru yang
segar, spontan dan penataan ini dimulai dari eksplorasi atau penjelajahan
gerak, yakni pencarian secara sadar kemungkinan-kemungkinan gerak baru dengan
pengembangan dari ragam gerak baku gaya madura serta mengolah elemen dasar
gerak, waktu, ruang dan tenaga. Penataan gerak memperhatikan unsur ruang dan
waktu, etika dan estetika yang didukung oleh irama.
d. Musik Iringan Tari
Penyusunan musiknya lebih didekatkan
dengan suasana musik khas Budaya Madura yang sangat didominasi perkusi, seperti
musik dug-dug, kenong telok yang sering mengiringi acara kerapan sapi dan
terlebih lagi telah muncul musik kolaborasi Semut Ireng Pamekasan yang mencoba
mendekati banyak unsur perkusi asal Madura, agar keserasian ragam gerak yang
dieksplorasi dapat sejalan dengan hadirnya musik khas tersebut.
e. Durasi (lama penyajian)
Durasi pada tari Geleng Ro’om ini 5
menit (lima menit) namun tidak menutup kemungkinan untuk menjadi lebih atau
kurang.
Garap tari yang sengaja digarap berdurasi 5 menit ini
karena merupakan sebuah tutntutan awal, yang mana bahwa pada proses penggarapan
berawal dari tuntutan kreteri festival pada Parade tari daerah tk
Nasional.Geleng ro’om sebagai wakil DaerahJawa Timur.
yuuukk kita jaga dan lestarikan bersama budaya dan kesenian madura....supaya tidak hilang di telan zaman
BalasHapuskmi jga mohon dkungannya dan referensi dari tmn2 yng brgrak di bdang ksenian bos
Hapustrutma ksnian madura